BAB 1
Pendahuluan
Dapat
berpikir dan berbahasa merupakan ciri utama yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya. Karena memiliki keduanya, maka sering disebut manusia sebagai
makhluk yang mulia dan makhluk sosial. Dengan pikirannya manusia menjelajah ke
setiap fenomena yang nampak bahkan yang tidak nampak. Dengan bahasanya, manusia
berkomunikasi untuk bersosialisasi dan menyampaikan hasil pemikirannya.
Salah
satu objek pemikiran manusia adalah bagaimana manusia dapat berbahasa. Pendapat
para ahli tentang belajar bahasa tersebut bermacam-macam. Di antara pendapat
mereka ada yang bertentangan namun ada juga yang saling mendukung dan
melengkapi. Pemikiran para ahli tentang teori belajar bahasa ini begitu
variatif dan menarik. Oleh karena itu, kami jadikan salah satu alasan pembahasan
dalam makalah ini.
Sehubungan
dengan begitu banyaknya teori tentang belajar bahasa, maka yang akan kami
kemukakan dalam makalah ini, kami batasi pada teori Behaviorisme, Nativisme,
Kognitivisme, Fungsional, Konstruktivisme, Humanistik, dan Sibernetik. Hal ini
dimaksudkan agar pembahasan kami menjadi lebih terfokus.Teori- teori ini
ternyata berpengaruh sangat kuat dalam dunia ilmu bahasa. Sebelum kita
berbicara lebih jauh tentang teori belajar bahasa, kita pahami dulu pengertian
teori. Menurut Mc lauglin dalam (Hadley: 43, 1993) Fungsi teori adalah untuk
membantu kita mengerti dan mengorganisasi data tentang pengalaman dan
memberikan makna yang merujuk dan sesuai. Ellis menyatakan bahwa setiap guru
pasti sudah memiliki teori tentang pembelajaran bahasa, tetapi sebagian besar
guru tersebut tidak pernah mengungkapkan seperti apa teori itu. Teori mempunyai
fungsi yaitu:
1)
Mendeskripsikan, menerangkan, menjelaskan tentang fakta. Contohnya fakta bahwa
mengapa air laut itu asin.
2)
Meramalkan kejadian-kejadian yang akan terjadi berdasarkan teori yang sudah
ada.
3)
Mengendalikan yaitu mencegah sesuatu supaya tidak terjadi dan mengusahakan
supaya terjadi
Teori
berhubungan dengan belajar. Belajar adalah acquiring or getting knowledge of a
subject or a skill by study, experience, or instruction ( pemerolehan ilmu
melalui belajar, pengalaman, pelatihan) atau learning is relatively permanent
change in a behavioral tendency and is the result of reinforced practice
(Kimble and Garmezy 1963: 133). Dengan kata lain teori belajar bahasa adalah
gagasan-gagasan tentang pemerolehan bahasa.
Semua
kegiatan belajar melibatkan ingatan. Jika kita tidak dapat mengingat apa pun
pengalaman kita maka kita tidak dapat belajar. Seringkali kita lupa, padahal
sesuatu yang kita lupakan belum tentu hilang dari ingatan. Refleksi dari
pengalaman belajar di sekolah menunjukkan bahwa sesuatu yang pernah dipelajari
sungguh-sungguh bisa menjadi lupa. Ingatan dapat digali kembali dengan cara
merangsang otak. Pengetahuan yang terlupakan dapat diingat kembali dengan cara
belajar kembali.
Menurut
Oemar Hamalik (2001: 154), prinsip belajar meliputi:
1.
Dilakukan dengan sengaja.
2.
Harus direncanakan sebelumnya dengan struktur tertentu.
3.
Guru menciptakan pembelajaran buat siswa.
4.
Memberikan hasil tertentu buat siswa.
5.
Hasil-hasil yang dicapai dapat dikontrol dengan cermat.
6.
Sistem penilaian dilaksanakan secara berkesinambungan.
Sedangkan
ciri-ciri perubahan perilaku dalam belajar: terjadi secara sadar, bersifat
kontinu, fungsional, bersifat positif, aktif, tidak bersifat sementara,
bertujuan atau terarah, mencakup seluruh aspek perilaku individu. Menurut
Suryabrata dalam Sumardi (1998: 232) proses belajar diharapkan membawa
perubahan (dalam arti behavioral Changes, aktual maupun potensial), menghasilkan
kecakapan baru, adanya usaha mencapai hasil yang lebih baik (dengan sengaja).
Sehubungan
dengan prisip belajar tersebut kiranya teori belajar ini dapat bermanfaat dalam
pengembangan pembelajaran bahasa.
BAB 2
Pembahasan
1.
Teori Behaviorisme
Tokoh
aliran ini adalah John B. Watson (1878 – 1958) yang di Amerika dikenal sebagai
bapak Behaviorisme. Teorinya memumpunkan perhatiannya pada aspek yang dirasakan
secara langsung pada perilaku berbahasa serta hubungan antara stimulus dan
respons pada dunia sekelilingnya. Menurut teori ini, semua perilaku, termasuk
tindak balas (respons) ditimbulkan oleh adanya rangsangan (stimulus). Jika
rangsangan telah diamati dan diketahui maka gerak balas pun dapat
diprediksikan. Watson juga dengan tegas menolak pengaruh naluri (instinct) dan
kesadaran terhadap perilaku. Jadi setiap perilaku dapat dipelajari menurut
hubungan stimulus - respons.
Untuk
membuktikan kebenaran teorinya, Watson mengadakan eksperimen terhadap Albert,
seorang bayi berumur sebelas bulan. Pada mulanya Albert adalah bayi yang
gembira dan tidak takut bahkan senang bermain-main dengan tikus putih berbulu
halus. Dalam eksperimennya, Watson memulai proses pembiasaannya dengan cara
memukul sebatang besi dengan sebuah palu setiap kali Albert mendekati dan ingin
memegang tikus putih itu. Akibatnya, tidak lama kemudian Albert menjadi takut
terhadap tikus putih juga kelinci putih. Bahkan terhadap semua benda berbulu
putih, termasuk jaket dan topeng Sinterklas yang berjanggut putih. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pelaziman dapat mengubah perilaku seseorang
secara nyata.
Seorang
behavioris menganggap bahwa perilaku berbahasa yang efektif merupakan hasil
respons tertentu yang dikuatkan. Respons itu akan menjadi kebiasaan atau
terkondisikan, baik respons yang berupa pemahaman atau respons yang berwujud
ujaran. Seseorang belajar memahami ujaran dengan mereaksi stimulus secara
memadai dan memperoleh penguatan untuk reaksi itu.
Salah
satu percobaan yang terkenal untuk membentuk model perilaku berbahasa dari
sudut behavioris adalah yang dikemukakan oleh Skinner (1957) dalam Verbal
Behavior. Percobaan Skiner dikenal dengan percobaannya tentang perilaku
binatang yang terkenal dengan kotak skinner. Teori skinner tentang perilaku
verbal merupakan perluasan teorinya tentang belajar yang disebutnya operant
conditioning. Konsep ini mengacu pada kondisi ketika manusia atau binatang
mengirimkan respons atau operant (ujaran atau sebuah kalimat) tanpa adanya
stimulus yang tampak. Operant itu dipertahankan dengan penguatan. Misalnya,
jika seorang anak kecil mengatakan minta susu dan orang tuanya memberinya susu,
maka operant itu dikuatkan. Dengan perulangan yang terus menerus operant
semacam itu akan terkondisikan.
Menurut
Skinner, perilaku verbal adalah perilaku yang dikendalikan oleh akibatnya. Bila
akibatnya itu hadiah, perilaku itu akan terus dipertahankan. Kekuatan serta
frekuensinya akan terus dikembangkan. Bila akibatnya hukuman, atau bila kurang
adanya penguatan, perilaku itu akan diperlemah atau pelan-pelan akan
disingkirkan.
Sebagai
contoh dapat kita saksikan perilaku anak-anak di sekeliling kita. Ada anak
kecil menangis meminta es pada ibunya. Tetapi, karena ibunya yakin dan percaya
bahwa es itu menggunakan pemanis buatan maka sang ibu tidak meluluskan
permintaan anaknya. Sang anak terus menangis. Tetapi sang ibu bersikukuh tidak
menuruti permintaannya. Lama kelamaan tangis anak tersebut akan reda dan lain
kali lain tidak akan minta es semacam itu lagi kepada ibunya, apalagi dengan
menangis. Seandainya anak itu kemudian dituruti keinginannya oleh ibunya, apa
yang terjadi? Pada kesempatan yang lain sang anak akan minta es lagi. Apabila
ibunya tidak meluluskannya maka ia akan menangis dan terus menangis sebab
dengan menangis ia akan mendapatkan es. Kalau ibunya memberi es lagi maka
perbuatan menangis itu dikuatkan. Pada kesempatan lain dia akan menangis
manakala ia meminta sesuatu pada ibunya.
Implikasi
teori ini ialah bahwa guru harus berhati-hati dalam menentukan jenis hadiah dan
hukuman. Guru harus mengetahui benar kesenangan siswanya. Hukuman harus
benar-benar sesuatu yang tidak disukai anak, dan sebaliknya hadiah merupakan
hal yang sangat disukai anak. Jangan sampai anak diberi hadiah menganggapnya
sebagai hukuman atau sebaliknya, apa yang menurut guru adalah hukuman bagi
siswa dianggap sebagai hadiah. Contoh, anak yang suka bermain sepakbola, akan
menganggap pemberian waktu untuk bermain sepakbola adalah hadiah, sebaliknya,
melarang untuk sementara waktu tidak bermain sepakbola adalah hukuman yang
menyakitkan.
Beberapa
linguis dan ahli psikologi sependapat bahwa model Skinner tentang perilaku
berbahasa dapat diterima secara memadai untuk kapasitas memperoleh bahasa,
untuk perkembangan bahasa itu sendiri, untuk hakikat bahasa dan teori makna.
Teori
yang tak kalah menariknya untuk kita kaji adalah Teori Pembiasaan Klasik dari
Pavlov (1848-1936) yang merupakan teori stimulus – respons yang pertama menjadi
dasar lahirnya teori-teori Stimulus – Respons yang lainnya. Pavlov berpendapat
bahwa pembelajaran merupakan rangkaian panjang dari respons-respons yang
dibiasakan. Menurut teori Pembiasaan Klasik ini kemampuan seseorang untuk
membentuk respons-respons yang dibiasakan berhubungan erat dengan jenis sistem
yang digunakan. Teori ini percaya adanya perbedaan-perbedaan yang dibawa sejak
lahir dalam kemampuan belajar. Respons yang dibiasakan (RD) dapat diperkuat
dengan ulangan-ulangan teratur dan intensif. Pavlov tidak percaya dengan
pengertian atau pemahaman atau apa yang disebut insight (kecepatan melihat
hubungan-hubungan di dalam pikiran). Jadi dapat dikatakan bagi Pavlov respons
yang dibiasakan adalah unit dasar pembelajaran yang paling baik.
Teori
Pavlov tersebut didukung pula oleh Thorndike (1874-1919) yang menghasilkan
Teori Penghubungan atau dikenal dengan trial and error. Teori ini didasarkan
pada sebuah eksperimen yang tak jauh berbeda dengan Pavlov. Thorndike
menggunakan kucing sebagai sarana eksperimennya yang berhasil membuka engsel dengan
cara dibiasakan dan dihubung-gubungkan. Dari hasil eksperimen itu, Thorndike
berpendapat bahwa pembelajaran merupakan suatu proses menghubung-hubungkan di
dalam sistem saraf dan tidak ada hubungannya dengan insight atau pengertian.
Yang dihubungkan adalah peristiwa-peristiwa fisik dan mental dalam pembelajaran
itu. Yang dimaksud dengan peristiwa fisik adalah segala rangsangan (stimulus)
dan gerak balas (respons). Sedangkan peristiwa mental adalah segala hal yang
dirasakan oleh pikiran (akal). Thorndike menemukan hukum latihan ( the law of
exercise) dan hukum akibat (the law of effect) yang kita kenal sekarang dengan
reinforcement atau penguatan. Contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah ketika
belajar naik sepeda atau dalam belajar bahasa adalah dalam pengucapan kata-kata
sulit. Kegagalan yang diulang terus menerus lama-kelamaan akan berhasil.
Upaya
lain untuk mendukung teori Behaviorisme dalam pemerolehan bahasa dilakukan
Osgood (1953). Dia menjelaskan bahwa proses pemerolehan semantik (makna)
didasarkan pada teori mediasi atau penengah. Menurutnya, makna merupakan hasil
proses pembelajaran dan pengalaman seseorang dan merupakan mediasi untuk
melambangkan sesuatu. Makna sebagai proses mediasi pelambang dan merupakan satu
bagian yang distingtif dari keseluruhan respons terhadap suatu objek yang
dibiasakan pada kata untuk objek itu, atau persepsi untuk obejek itu. Osgood
telah memperkenalkan konsep sign (tanda atau isyarat) sehubungan dengan makna
Pendapat
para ahli psikologi behaviorisme yang menekankan pada observasi empirik dan
metode ilmiah hanya dapat mulai menjelaskan keajaiban pemerolehan dan belajar
bahasa tapi ranah kajian bahasa yang sangat luas masih tetap tak tersentuh.
2.
Teori Nativisme
Berbeda
dengan kaum behavioristik, kaum nativistik atau mentalistik berpendapat bahwa
pemerolehan bahasa pada manusia tidak boleh disamakan dengan proses pengenalan
yang terjadi pada hewan. Mereka tidak memandang penting pengaruh dari
lingkungan sekitar. Selama belajar bahasa pertama sedikit demi sedikit manusia
akan membuka kemampuan lingualnya yang secara genetis telah terprogramkan.
Dengan perkataan lain, mereka menganggap bahwa bahasa merupakan pemberian
biologis. Menurut mereka bahasa terlalu kompleks dan mustahil dapat dipelajari
oleh manusia dalam waktu yang relatif singkat lewat proses peniruan sebagaimana
keyakinan kaum behavioristik. Jadi beberapa aspek penting yang menyangkut
sistem bahasa menurut keyakinan mereka pasti sudah ada dalam diri setiap
manusia secara alamiah.
Istilah
nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa
ditentukan oleh bakat. Bahwa setiap manusia dilahirkan sudah memiliki bakat
untuk memperoleh dan belajar bahasa. Teori tentang bakat bahasa itu memperoleh
dukungan dari berbagai sisi. Eric Lenneberg (1967) membuat proposisi bahwa
bahasa itu merupakan perilaku khusus manusia dan bahwa cara pemahaman tertentu,
pengkategorian kemampuan, dan mekanisme bahasa yang lain yang berhubungan
ditentukan secara biologis.
Chomsky
dalam Hadley (1993: 48) yang merupakan tokoh utama golongan ini mengatakan
bahwasannya hanya manusialah satu-satunya makhluk Tuhan yang dapat melakukan
komunikasi lewat bahasa verbal. Selain itu bahasa juga sangat kompleks oleh
sebab itu tidak mungkin manusia belajar bahasa dari makhluk Tuhan yang lain.
Chomsky juga menyatakan bahwa setiap anak yang lahir ke dunia telah memiliki
bekal dengan apa yang disebutnya “alat penguasaan bahasa” atau LAD (language
Acquisition Device). Chomsky dalam Hadley (1993:50) mengemukakan bahwa belajar
bahasa merupakan kompetensi khusus bukan sekedar subset belajar secara umum.
Cara berbahasa jauh lebih rumit dari sekedar penetapan Stimulus- Respon.
Chomsky dalam Hadley (1993: 48) mengatakan bahwa eksistensi bakat bermanfaat
untuk menjelaskan rahasia penguasaan bahasa pertama anak dalam waktu singkat,
karena adanya LAD. Menurut golongan ini belajar bahasa pada hakikatnya hanyalah
proses pengisian detil kaidah-kaidah atau struktur aturan-aturan bahasa ke
dalam LAD yang sudah tersedia secara alamiah pada manusia tersebut.
Salah
seorang penganut golongan ini Mc. Neil (Brown, 1980:22) mendeskripsikan LAD itu
terdiri atas empat bakat bahasa, yakni:
a.
Kemampuan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain.
b.
Kemampuan mengorganisasikan peristiwa bahasa ke dalam variasi yang beragam.
c.
Pengetahuan adanya sistem bahasa tertentu yang mungkin dan sistem yang lain
yang tidak mungkin.
d.
Kemampuan untuk mengevaluasi sistem perkembangan bahasa yang membentuk sistem
yang mungkin dengan cara yang paling sederhana dari data kebahasaan yang
diperoleh.
Manusia
mempunyai bakat untuk terus menerus mengevaluasi sistem bahasanya dan terus
menerus mengadakan revisi untuk pada akhirnya menuju bentuk yang berterima di
lingkungannya.
Chomsky
dalam Hadley (1993: 49) mengemukakan bahwa bahasa anak adalah sistem yang sah
dari sistem mereka. Perkembangan bahasa anak bukanlah proses perkembangan
sedikit demi sedikit stuktur yang salah, bukan dari bahasa tahap pertama yang
lebih banyak salahnya ke tahap berikutnya, tetapi bahasa anak pada setiap
tahapan itu sistematik dalam arti anak secara terus menerus membentuk hipotesis
dengan dasar masukan yang diterimanya dan kemudian mengujinya dalam ujarannya
sendiri dan pemahamannya. Selama bahasa anak itu berkembang hipotesis itu terus
direvisi, dibentuk lagi atau kadang-kadang dipertahankan.
3.
Teori Kognitivisme
Pada
tahun 60-an golongan kognitivistik mencoba mengusulkan pendekatan baru dalam
studi pemerolehan bahasa. Pendekatan tersebut mereka namakan pendekatan
kognitif. Jika pendekatan kaum behavioristik bersifat empiris maka pendekatan
yang dianut golongan kognitivistik lebih bersifat rasionalis. Konsep sentral
dari pendekatan ini yakni kemampuan berbahasa seseorang berasal dan diperoleh
sebagai akibat dari kematangan kognitif sang anak. Mereka beranggapan bahwa
bahasa itu distrukturkan atau dikendalikan oleh nalar manusia. Oleh sebab itu
perkembangan bahasa harus berlandas pada atau diturunkan dari perkembangan dan
perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi manusia. Dengan demikian
urutan-urutan perkembangan kognisi seorang anak akan menentukan urutan-urutan
perkembangan bahasa dirinya.
Menurut
aliran ini kita belajar disebabkan oleh kemampuan kita menafsirkan peristiwa
atau kejadian yang terjadi di dalam lingkungan. Titik awal teori kognitif
adalah anggapan terhadap kapasitas kognitif anak dalam menemukan struktur dalam
bahasa yang didengar di sekelilingnya. Pemahaman, produksi, komprehensi bahasa
pada anak dipandang sebagai hasil dari proses kognitif anak yang secara terus menerus
berubah dan berkembang. Jadi stimulus merupakan masukan bagi anak yang
berproses dalam otak. Pada otak terjadi mekanisme mental internal yang diatur
oleh pengatur kognitif, kemudian keluar sebagai hasil pengolahan kognitif tadi.
Konsep
sentral teori kognitif adalah kemampuan berbahasa anak berasal dari kematangan
kognitifnya. Proses belajar bahasa secara kognitif merupakan proses berpikir
yang kompleks karena menyangkut lapisan bahasa yang terdalam. Lapisan bahasa
tersebut meliputi: ingatan, persepsi, pikiran, makna, dan emosi yang saling
berpengaruh pada struktur jiwa manusia. Bahasa dipandang sebagai manifestasi
dari perkembangan aspek kognitif dan afektif yang menyatakan tentang dunia dan
diri manusia itu sendiri.
Dapat
dikemukakan bahwa pendekatan kognitif menjelaskan bahwa:
a.
dalam belajar bahasa, bagaimana kita berpikir
b.
belajar terjadi dan kegiatan mental internal dalam diri kita
c.
belajar bahasa merupakan proses berpikir yang kompleks.
Laughlin
dalam Elizabeth (1993: 54) berpendapat bahwa dalam belajar bahasa seorang anak
perlu proses pengendalian dalam berinteraksi dengan lingkungan. Pendekatan
kognitif dalam belajar bahasa lebih menekankan pemahaman, proses mental atau
pengaturan dalam pemerolehan, dan memandang anak sebagai seseorang yang
berperan aktif dalam proses belajar bahasa.
Selanjutnya
menurut Piaget dalam Mansoer Pateda (1990: 67), salah seorang tokoh golongan
ini mengatakan bahwa struktur komplek dari bahasa bukanlah sesuatu yang
diberikan oleh alam dan bukan pula sesuatu yang dipelajari lewat lingkungan.
Struktur tersebut lahir dan berkembang sebagai akibat interaksi yang terus
menerus antara tingkat fungsi kognitif si anak dan lingkungan
lingualnya.Struktur tersebut telah tersedia secara alamiah. Perubahan atau
perkembangan bahasa pada anak akan bergantung pada sejauh mana keterlibatan
kognitif sang anak secara aktif dengan lingkungannya.
Proses
belajar bahasa terjadi menurut pola tahapan perkembangan tertentu sesuai umur.
Tahapan tersebut meliputi:
a.
Asimilasi: proses penyesuaian pengetahuan baru dengan struktur kognitif
b.
Akomodasi: proses penyesuaian struktur kognitif dengan pengetahuan baru
c.
Disquilibrasi: proses penerimaan pengetahuan baru yang tidak sama dengan yang telah
diketahuinya.
d.
Equilibrasi: proses penyeimbang mental setelah terjadi proses asimilasi.
Menurut
Ausubel dalam Elizabeth (1993: 59) mengatakan proses belajar bahasa terjadi
bila anak mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimiliki dengan pengetahuan
baru. Proses itu melalui tahapan memperhatikan stimulus yang diberikan,
memahami makna stimulus, menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah
dipahami.
Selanjutnya
menurut Bruner dalam Mansoer Pateda (1990: 49) mengemukakan bahwa, proses
belajar bahasa lebih ditentukan oleh cara anak mengatur materi bahasa bukan
usia anak. Proses belajar bahasa didapat melalui: enaktif yaitu aktivitas untuk
memahami lingkungan; ikonik yaitu melihat dunia lewat gambar dan visualisasi
verbal; simbolik yaitu memahami gagasan-gagasan abstrak.
4.
Teori Fungsional
Dengan
munculnya kontruktivisme dalam dunia psikologi, dalam tahun-tahun terakhir ini
menjadi lebih jelas bahwa belajar bahasa berkembang dengan baik di bawah
gagasan kognitif dan struktur ingatan.
Para
peneliti bahasa mulai melihat bahwa bahasa merupakan manifestasi kemampuan
kognitif dan efektif untuk menjelajah dunia, untuk berhubungan dengan orang
lain dan juga keperluan terhadap diri sendirisebagai manusia. Lebih lagi kaedah
generatif yang diusulkan di bawah naungan nativisme itu bersifat abstrak,
formal, eksplisit dan logis, meskipun kaidah itu lebih mengutamakan pada bentuk
bahasa dan tidak pada tataran fungsional yang lebih dari makna yang dibentuk
dari makna yang dibentuk dari interaksi sosial.
a.
Kognisi dan perkembangan bahasa
Piaget
menggambarkan penelitian itu sebagai interaksi anak dengan lingkungannya dengan
interaksi komplementer antara perkembangan kapasitas kognitif perseptual dengan
pengalaman bahasa mereka. Penelitian itu berkaitan dengan hubungan antara
perkembangan kognitif dengan pemerolehan bahasa pertama. Slobin menyatakan
bahwa dalam semua bahasa, belajar makna bergantung pada perkembangan kognitif
dan urutan perkembangannya lebih ditentukan oleh kompleksitas makna itu dari
pada kompleksitas bentuknya. Menurut dia ada dua hal yang menentukan model:
1)
Pada asas fungsional, perkembangan diikuti oleh perkembangan kapasitas
komunikatif dan konseptual yang beroperasi dalam konjungsi dengan skema batin
konjungsi.
2)
Pada asas formal, perkembangan diikuti oleh kapasitas perseptual dan
pemerosesan informasi yang bekerja dalam konjungsi dan skema batin tata bahasa.
b.
Interaksi Sosial dan Perkembangan Bahasa
Akhir-akhir
ini semakin jelas bahwa fungsi bahasa berkembang dengan baik di luar pikiran
kognitif dan struktur memori. Di sini tampak bahwa kontruktivis sosial
menekankan prespektif fungsional. Bahasa pada hakikatnya digunakan untuk
komunikasi interaktif. Oleh sebab itu kajian yang cocok untuk itu adalah kajian
tentang fungsi komunikatif bahasa, fungsi pragmatik dan komunikatif dikaji
dengan segala variabilitasnya.
5.
Teori Konstruktvisme
Jean
Piaget dan Leu Vygotski adalah dua nama yang selalu diasosiasikan dengan
kontruktivisme. Ahli kontruktivisme menyatakan bahwa manusia membentuk versi
mereka sendiri terhadap kenyataan, mereka menggandakan beragam cara untuk
mengetahui dan menggambarkan sesuatu untuk mempelajari pemerolehan bahasa
pertama dan kedua.
Pembelajaran
harus dibangun secara aktif oleh pembelajar itu sendiri dari pada dijelaskan
secara rinci oleh orang lain. Dengan demikian pengetahuan yang diperoleh
didapatkan dari pengalaman. Namun demikian, dalam membangun pengalaman siswa
harus memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pikirannya, menguji ide-ide
tersebut melalui eksperimen dan percakapan atau tanya jawab, serta untuk
mengamati dan membandingkan fenomena yang sedang diujikan dengan aspek lain
dalam kehidupan mereka. Selain itu juga guru memainkan peranan penting dalam
mendorong siswa untuk memperhatikan seluruh proses pembelajaran serta menawarkan
berbagai cara eksplorasi dan pendekatan.
Siswa
dapat benar-benar memahami konsep ilmiah dan sains karena telah mengalaminya.
Penjelasan mendetail dari guru belum tentu mencerminkan pemahaman siswa
mengerti kata-kata ilmiahnya, tapi tidak memahami konsepnya. Namun jika siswa
telah mencobanya sendiri, maka pemahaman yang didapat tidak hanya berupa
kata-kata saja, namun berupa konsep.
Dalam
rangka kerjanya, ahli konstruktif menantang guru-guru untuk menciptakan
lingkungan yang inovatif dengan melibatkan guru dan pelajar untuk memikirkan
dan mengoreksi pembelajaran. Untuk itu ada dua hal yang harus dipenuhi, yaitu:
1)
Pembelajar harus berperan aktif dalam menyeleksi dan menetapkan kegiatan
sehingga menarik dan memotivasi pelajar,
2)
Harus ada guru yang tepat untuk membantu pelajar-pelajar membuat konsep-konsep,
nilai-nilai, skema, dan kemampuan memecahkan masalah.
6.
Teori Humanisme
Teori
ini muncul diilhami oleh perkembangan dalam psikologi yaitu psikologi
Humanisme. Sesuai pendapat yang dikemukakan oleh McNeil (1977) “In many
instances, communicative language programmes have incorporated educational
phylosophies based on humanistic psikology or view which in the context of
goals for other subject areas has been called ‘the humanistic curriculum’.”
Teori humanisme dalam pengajaran bahasa pernah diimplementasikan dalam sebuah
kurikulum pengajaran bahasa dengan istilah Humanistic curriculum yang
diterapkan di Amerika utara di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an.
Kurikulum ini menekankan pada pembagian pengawasan dan tanggungjawab bersama
antar seluruh siswa didik. Humanistic curiculum menekankan pada pola pikir,
perasaan dan tingkah laku siswa dengan menghubungkan materi yang diajarkan pada
kebutuhan dasar dan kebutuhan hidup siswa. Teori ini menganggap bahwa setiap
siswa sebagai objek pembelajaran memiliki alasan yang berbeda dalam mempelajari
bahasa.
Tujuan
utama dari teori ini adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa agar bisa
berkembang di tengah masyarakat. The deepest goal or purpose is to develop the
whole persons within a human society. (McNeil,1977)
Sementara
tujuan teori humanisme menurut Coombs (1981):
·
Pengajaran disusun berdasarkan
kebutuhan-kebutuhan dan tujuan siswa. program pengajaran diarahkan agar siswa
mampu menciptakan pengalaman sendiri berdasarkan kebutuhannya. hal ini
dilakukan untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki.
·
Memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengaktualisasikan dirinya dan untuk menumbuhkan kepercayaan dirinya.
·
Pengajaran disusun untuk memperoleh
keterampilan dasar (akademik, pribadi, antar pribadi, komunikasi, dan ekonomi)
berdasarkan kebutuhan masing-masing siswa.
·
Memilih dan memutuskan aktivitas
pengajaran secara individual dan mampu menerapkannya.
·
Mengenal pentingnya perasaan manusia,
nilai, dan persepsi.
·
Mengembangkan suasana belajar yang
menantang dan bisa dimengerti.
·
Mengembangkan tanggung jawab siswa,
mengembangkan sikap tulus, respek, dan menghargai orang lain, dan terampil
dalam menyelesaikan konflik.
Teori
Humanisme dalam pangajaran bahasa banyak dipengaruhi oleh pemikiran para ahli
psikologi humanisme seperti Abraham maslow, Carl Roger, Fritz Peers dan Erich
Berne. Para ahli psikologi tersebut menciptakan sebuah teori dimana pendidikan
berpusat pada siswa (learner centered-pedagogy). Prakteknya dalam dunia
pendidikan yaitu dengan menggabungkan pengembangan kognitif dan afektif siswa.
Dalam
teori humanisme, setiap siswa memiliki tanggung jawab terhadap pembelajaran
mereka masing-masing, mampu mengambil keputusan sendiri, memilih dan
mengusulkan aktivitas yang akan dilakukan mengungkapkan perasaan dan pendapat
mengenai kebutuhan, kemampuan, dan kesenangannya. Dalam hal ini, guru berperan
sebagai fasilitator pengajaran, bukan menyampaikan pengetahuan.
Sementara
menurut Fraida Dubin dan Elita Olshtain (1992-76) pengajaran bahasa menurut
teori humanisme, sbb.
1)
Sangat menekankan kepada komunikasi yang bermakna (meaningful communication)
berdasarkan sudut pandang siswa. Teks harus otentik, tugas-tugas harus
kommunikatif, Outcome menyesuaikan dan tidak ditentukan atau ditargetkan
sebelumnya.
2)
Pendekatan ini berfokus pada siswa dengan menghargai existensi setiap individu.
3)
Pembelajaran digambarkan sebagai sebuah penerapan pengalaman individual dimana
siswa memiliki kesempatan berbicara dalam proses pengambilan keputusan.
4)
Siswa lain sebagai kelompok suporter dimana mereka saling berinteraksi, saling
membantu dan saling mengevaluasi satu sama lain.
5)
Guru berperan sebagai fasilitator yang lebih memperhatikan atmosphere kelas
dibanding silabus materi yang digunakan.
6)
Materi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan siswa.
7)
Bahasa ibu para siswa dianggap sebagai alat yang sangat membantu jika
diperlukan untuk memahami dan merumuskan hipotesa bahasa yang dipelajari.
Carl
Rogers (1902-1987) dianggap sebagai penemu dan panutan dalam perkembangan
pendekatan humanistik dalam pendidikan. Roger (1980) menekankan pada kebutuhan
secara alamiah dari setiap orang untuk belajar. Peran guru adalah sebagai
fasilitator pengajaran.
7.
Teori Sibernetik
Istilah
sibernetika berasal dari bahasa Yunani (Cybernetics berarti pilot). Istilah
Cybernetics yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi sibernetika,
pertama kali digunakan th.1945 oleh Nobert Wiener dalam bukunya yang berjudul
Cybernetics. Nobert mendefinisikan Cybernetics sebagai berikut," The study
of control and communication in the animal and the machine." Istilah
sibernetika digunakan juga oleh Alan Scrivener (2002) dalam bukunya 'A
Curriculum for Cybernetics and Systems Theory.' Sebagai berikut "Study of
systems which can be mapped using loops (or more complicated looping
structures) in the network defining the flow of information. Systems of
automatic control will of necessity use at least one loop of information flow
providing feedback." Artinya studi mengenai sistem yang bisa dipetakan
menggunakan loops (berbagai putaran) atau susunan sistem putaran yang rumit
dalam jaringan yang menjelaskan arus informasi. Sistem pengontrol secara
otomatis akan bermanfaat, satu putaran informasi minimal akan menghasilkan
feedback. Sementara Ludwig Bertalanffy memandang fungsi sibernetik dalam
berkomunikasi. "Cybernetics is a theory of control systems based on
communication (transfer of information) between systems and environment and
within the system, and control (feedback) of the system's function in regard to
environment.
Sibernetika
adalah teori sistem pengontrol yang didasarkan pada komunikasi (penyampaian
informasi) antara sistem dan lingkungan dan antar sistem, pengontrol (feedback)
dari sistem berfungsi dengan memperhatikan lingkungan.
Seiring
perkembangan teknologi informasi yang diluncurkan oleh para ilmuwan dari
Amerika sejak tahun 1966, penggunaan komputer sebagai media untuk menyampaikan
informasi berkembang pesat. Teknologi ini juga dimanfaatkan dunia pendidikan
terutama guru untuk berkomunikasi sesama relasi, mencari handout (buku materi
ajar), menerangkan materi pelajaran atau pelatihan, bahkan untuk mengevaluasi
hasil belajar siswa. Prinsip dasar teori sibernetik yaitu menghargai adanya 'perbedaan',
bahwa suatu hal akan memiliki perbedaan dengan yang lainnya, atau bahwa sesuatu
akan berubah seiring perkembangan waktu. Pembelajaran digambarkan sebagai :
INPUT => PROSES => OUTPUT
Teori
sibernetik diimplementasikan dalam beberapa pendekatan pengajaran (teaching
approach) dan metode pembelajaran, yang sudah banyak diterapkan di Indonesia.
Misalnya virtual learning, e-learning, dll.
Beberapa
kelebihan teori sibernetik:
·
Setiap orang bisa memilih model
pembelajaran yang paling sesuai dengan untuk dirinya, dengan mengakses melalui
internet pembelajaran serta modulnya dari berbagai penjuru dunia.
·
Pembelajaran bisa disajikan dengan
menarik, interaktif dan komunikatif. Dengan animasi-animasi multimedia dan
interferensi audio, siswa tidak akan bosan duduk berjam-jam mempelajari modul
yang disajikan.
·
Menganggap dunia sebagai sebuah 'global
village', dimana masyarakatnya bisa saling mengenal satu sama lain, bisa saling
berkomunikai dengan mudah, dan pembelajaran bisa dilakukan dimana saja tanpa
dibatasi ruang dan waktu, sepanjang sarana pembelajaran mendukung.
·
Buku-buku materi ajar atau sumber
pembelajaran lainnya bisa diperoleh secara autentik (sesuai aslinya), cepat dan
murah.
·
Ketika bertanya atau merespon pertanyaan
guru atau instruktur, secara psikologis siswa akan lebih berani
mengungkapkanya, karena siswa tidak akan merasa takut salah dan menanggung
akibat dari kesalahannya secara langsung.
BAB 3
Penutup
Berdasarkan
uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam proses belajar bahasa dapat
ditinjau dari berbagai teori yang kesemuanya masuk akal. Yang terpenting bagi
kita dengan adanya teori-teori tersebut dapat membantu kesulitan bagi mereka
yang sedang belajar bahasa sehingga dapat memaksimalkan kemampuan mereka
seperti yang kita harapkan.
Daftar Pustaka
----------.
2000. Teaching by Priciples, an interactive Approach to Language
Brown.
H. Dauglas. 2000. Priciples of Language Learning and Teaching 4th edition , New
York
Hadley.
Alice Omaggio, 1993, Teaching Language 2nd Edition, Heinle and Heinle
Publishers, USA
J.
S. Atherton. 2005. Learning and Teaching: Humanistic approaches to learning
Pedagogy 2th edition , New York
Lefrancois,
Guy R. 1995. Theories of Human Learning. California
Pateda,
Mansoer, Aspek-aspek Psikolinguistik, 1990, Nusa Indah. Flores.
Ricards
Jack C., Renandya. Willy A, 2002. Methodology in Language Teaching; An
Anthology of Current Practice. Cambridge University.
Rieken,
Elizabeth, 1993. Theaching Language in Context. Heinle & Heinle Publiser,
Boston.
Scrivener,
Alan B., A, 2002 Curriculum for Cybernetics and Systems.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar